GRAHAMEDIA.ID - Pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan tren yang signifikan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, lebih dari 280 juta penduduk Indonesia kini dihadapkan pada dinamika urbanisasi, dengan 59 persen tinggal di wilayah perkotaan.
Angka ini diprediksi meningkat hingga 70 persen pada tahun 2045. Urbanisasi yang pesat ini membawa tantangan besar dalam penyediaan hunian yang layak dan terjangkau, terutama di kota-kota besar.
Permasalahan perumahan menjadi isu global, di mana konsep seperti public housing dan social housing diusulkan sebagai solusi.
Meski menawarkan manfaat, kedua konsep ini memiliki kekurangan yang sering kali mengaburkan tujuannya sebagai solusi hunian inklusif.
Baca Juga: Rehabilitasi dan Renovasi Stadion Maguwoharjo Selesai. FIFA: Penuhi Standar Internasional
Public housing, atau perumahan publik, dirancang untuk menyediakan hunian vertikal dengan harga terjangkau di kawasan perkotaan.
Singapura menjadi contoh sukses penerapan model ini, di mana mayoritas penduduknya tinggal di perumahan publik yang efisien dan berkualitas tinggi.
Namun, implementasi di banyak negara menunjukkan tantangan. Lokasi strategis di pusat kota, dikombinasikan dengan fasilitas modern, sering kali membuat harga public housing meningkat pesat.
Akibatnya, kelompok berpenghasilan rendah, yang menjadi target awal, tidak mampu menjangkaunya.
Baca Juga: Wamen PU Tinjau Paralympic Training Center di Karanganyar, Targetkan Rampung Akhir Tahun
Public housing pun bertransformasi menjadi hunian semi komersial yang justru memperparah gentrifikasi dan ketimpangan sosial.
Di sisi lain, social housing fokus pada masyarakat rentan, menawarkan sewa murah yang disubsidi pemerintah atau lembaga nirlaba.
Meski harga terjangkau, lokasinya kerap berada di pinggiran kota, jauh dari pusat aktivitas ekonomi, pendidikan, dan fasilitas umum.
Kondisi ini memperburuk keterasingan sosial dan menghambat mobilitas ekonomi penghuninya.