GRAHAMEDIA.ID - Di balik gemerlap lampu kota, kawasan kumuh menjadi sisi gelap urbanisasi yang belum teratasi di banyak kota besar Indonesia.
Urbanisasi, yang sering kali dianggap sebagai tanda kemajuan ekonomi, justru menjadi tantangan serius ketika tidak diiringi dengan perencanaan dan pengelolaan yang matang.
Fenomena ini berdampak pada munculnya permukiman kumuh, yang tidak hanya merugikan penghuninya tetapi juga mengancam keberlanjutan lingkungan kota.
Urbanisasi di Indonesia terus meningkat, didorong oleh pencarian kesempatan ekonomi yang lebih baik di perkotaan.
Baca Juga: Mendesak!, Menteri PKP Dorong BP Tapera dan Perbankan Segera Salurkan KPR FLPP di Awal 2025
Namun, perpindahan penduduk ini tidak selalu membawa kesejahteraan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 7,94 persen rumah tangga di Indonesia masih menempati rumah kumuh pada 2023.
Tingginya arus urbanisasi, terutama dari penduduk dengan tingkat pendidikan rendah, menyebabkan kebutuhan perumahan tidak dapat terpenuhi secara layak.
Permukiman kumuh sering kali terletak di area rawan bencana, dengan infrastruktur minim, sanitasi buruk, dan akses air bersih yang terbatas.
Masalah ini diperburuk oleh kepadatan hunian dan kurangnya pencahayaan alami, yang menciptakan lingkungan tidak sehat bagi penghuninya.
Baca Juga: Pilihan Jenis Ventilasi Rumah dan Nilai Manfaatnya
Kawasan kumuh tidak hanya menjadi masalah bagi penghuninya, tetapi juga menciptakan dampak luas bagi kota secara keseluruhan.
Sistem pembuangan air yang buruk di kawasan ini sering menyebabkan pencemaran sungai dan kerusakan lingkungan.
Selain itu, sanitasi yang tidak memadai berisiko menimbulkan wabah penyakit, yang dampaknya bisa meluas ke area lain di kota.
Di sisi sosial, kawasan kumuh menjadi simbol ketimpangan yang memperburuk kesenjangan antara kelompok ekonomi atas dan bawah.