Senin, 22 Desember 2025

Gedung Sobokartti Semarang, Saksi Bisu Pergumulan Intelektual Muda

Photo Author
- Jumat, 29 September 2023 | 09:26 WIB
Gedung Sobokartti di Jalan Dr. Cipto 31-33 Kota Semarang yang saat ini sering digunakan untuk latihan kesenian tradisional.  (instagram/semarang.heritage)
Gedung Sobokartti di Jalan Dr. Cipto 31-33 Kota Semarang yang saat ini sering digunakan untuk latihan kesenian tradisional. (instagram/semarang.heritage)

GRAHAMEDIA.ID - Bangunan kuno menghadap selatan di Jalan Dr. Cipto 31-33 Kota Semarang nampak unik dibandingkan dengan bangunan-bangunan lainnya.

Struktur bangunannya khas ala Belanda. Di depannya, tertulis "Sobokartti".

Ya, selama ini gedung kesenian Sobokartti atau Volkstheater Sobokartti, yang luasnya mencapai 900 meter persegi dengan ketinggian 10 meter itu hanya akrab sebagai wadah pelatihan bermacam kesenian tradisional.

Padahal, dalam sejarahnya, bangunan yang dirancang sejak tahun 1921 itu menjadi tempat pertemuan gagasan intelektual-intelektual muda Semarang saat itu.

Salah seorang tokoh yang andil dalam pengembangan kesenian adalah Thomas Karsten. Dia adalah arsitek berkebangsaan Belanda.

Bersama Prangwadana (Mangkunegara VII) dan Dr Radjiman, dia menggagas kelompok kesenian bernama Volkskunstvereeniging Sobokartti ini.

Sejarawan Semarang, Tjahyono Rahardjo mengungkapkan, pada awalnya memang pembangunan gedung itu sebagai produk politik etis pemerintah Belanda terhadap warga jajahannya untuk pendidikan kesenian.

“Apapun itu, kalau saya melihat pembuatan gedung ini adalah upaya Karsten untuk menjungkirbalikkan konsep pertunjukan kesenian. Kalau dulu kesenian itu hanya bisa dinikmati oleh orang keraton, tapi melalui gedung ini, kesenian didekatkan dengan rakyat,” katanya.

Gedung Sobokartti di Jalan Dr. Cipto 31-33 Semarang (instagram/sobokartti)

Sebelum Indonesia merdeka, lanjut Tjahyono, selain sebagai pusat pelatihan dan pertunjukan kesenian tari, karawitan, dan pedalangan.

Gedung ini juga sebagai arena diskusi para kaum intelektual muda Semarang dari berbagai etnis saat itu, baik etnis Jawa, Cina, dan Belanda.

Meraka sama-sama membicarakan tentang nasionalisme dan kebudayaan.

Hasil diskusi para intelektual muda Semarang itu ditulis dalam sebuah Majalah “Dee Teak”.

Diskusi itu banyak diisi oleh orang-orang muda Semarang yang saat itu punya kesempatan untuk mengakses pendidikan tinggi.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Amin Fauzi

Sumber: Tjahyono Rahardjo

Tags

Terkini

Macam-Macam Ukuran Ideal Untuk Jendela Rumah

Senin, 9 Juni 2025 | 12:10 WIB

Inilah Inspirasi Pilihan warna Atap RumahTerkini

Senin, 3 Maret 2025 | 10:02 WIB

Terpopuler

X