GRAHAMEDIA.ID - Kuno, ketinggalan jaman, tidak masuk akal dan takhayul. Kata-kata ini mungkin masih sering digunakan untuk menilai budaya leluhur Nusantara.
Dalam mendirikan rumah pun ada budaya turun-temurun dan mengakar dalam kebiasaan masyarakat. Dan mungkin akan dicap negatif pula oleh sebagian orang.
Apa itu? Tradisi munggah molo (blandar) atau menaikkan kerangka atap rumah yang sedang dibangun.
Menggantung di atap rumah yang sedang dibangun berupa hasil bumi seperti padi, kelapa, pisang, dan tebu. Lalu bendera merah putih dibalutkan di tempat tertinggi.
Aneka ragam gantungan ini akan terus terpajang di kayu atap rumah paling tinggi berhari-hari atau bahkan sampai hitungan minggu sebelum genteng dipasang.
Artinya, orang-orang sekeliling yang lewat akan melihat pajangan ini dalam tempo lama hingga terpatri di benak pikiran dan hati sanubari tanpa disadari.
Aneka hasil bumi itu tidak akan diturunkan sebelum kerangka atap dan genteng selesai dikerjakan. Fenomena ini kini kerap dianggap aneh dan tidak masuk akal.
Padahal dari sini terkandung makna filosofis mendalam yang memang bisa gagal dipahami oleh orang-orang yang sudah terlanjur menganggapnya sebagai mitos.
1. Tempat Tertinggi
Aneka hasil bumi dan bendera merah putih yang digantungkan di tempat paling tinggi dari rumah yaitu kayu atap paling tinggi sebagai simbol harapan.
Bahwa untuk mengarungi bahtera rumah tangga dengan beragam masalahnya maka harus menggantungkan harapan setinggi-tingginya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Lebih dari itu, demi terciptanya rumah besar yaitu Bangsa Indonesia Merdeka yang gemah ripah loh jinawi harus digantungkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Kemerdekaan bukanlah hadiah, bukan belas kasih bangsa lain apalagi belas kasihan dari penjajah.
2. Pisang
Artikel Terkait
Di Hari Batik Nasional, Interior Rumah Bernuansa Batik Bisa Membuat Rumah Anda Tampil Lebih Menawan
Tips Membangun Rumah yang Tahan Perubahan Iklim
Walau Anda Sudah Berteman dengannya Sedekat Bestie, Tetap Harus Menjaga Etika Ini Saat Mau Masuk ke Rumahnya.