tinjau-rumah

Revitaslisasi Benteng Keraton Yogyakarta VS Tahta untuk Rakyat?

Kamis, 11 September 2025 | 16:25 WIB
Ilustrasi Benteng Keraton (chatgpt.com)

Warisan untuk Siapa?

Sejumlah akademisi menilai revitalisasi ini sarat kepentingan politik dan ekonomi. “Revitalisasi cagar budaya sering kali merepresentasikan kuasa kelas elite dalam menentukan warisan mana yang layak dirayakan,” tulis Bloch (2016).

Dalam konteks Yogyakarta, persoalan itu tak lepas dari status Sultan Ground—tanah yang secara hukum berada di bawah wewenang Sultan. UU Keistimewaan DIY 2012 makin mengokohkan kekuasaan politik dan ekonomi keraton.

Baca Juga: Pemprov Jateng Desak 28 Kabupaten/Kota Percepat Pembentukan Satgas Penuntasan Sampah

Akibatnya, status cagar budaya kerap lebih sakral daripada ruang hidup rakyat. “Lahan lebih penting ketimbang manusia,” kata antropolog Tania Li (2009).

Contoh di Bangkok memberi pelajaran. Revitalisasi benteng Pom Mahakan justru mendorong wisata dan kenaikan harga properti, sementara warga asli terusir (Bristol, 2010).

Kondisi serupa berpotensi terjadi di Yogyakarta: kota semakin elok di mata wisatawan, tapi makin mahal bagi warganya.

Tahta untuk Rakyat?

Di masa lalu, Sri Sultan HB IX dikenal sebagai raja yang menempatkan kepemimpinannya “semata-mata untuk rakyat”.

Semangat itu kini dipertanyakan. Apakah revitalisasi benteng sejalan dengan semboyan “tahta untuk rakyat”, atau sekadar mengukuhkan masa lalu yang nyaman bagi elite?

Baca Juga: Realisasi Penyaluran KUR di Jawa Tengah Capai Rp30,48 Triliun

Yogyakarta memang perlu merawat sejarahnya. Namun, penataan kota mestinya tak menyingkirkan rakyat kecil yang secara sosial-ekonomi lebih rentan.

Sebab, wajah kota bukan hanya bangunan bersejarah yang dipoles untuk wisata, melainkan juga ruang hidup rakyat yang diwariskan lintas generasi.(*)

Halaman:

Tags

Terkini