GRAHAMEDIA.ID – Permintaan Presiden RI Prabowo Subianto kepada para Ketua Umum Partai Politik untuk mengubah sistem pemilu di Indonesia yang dinilai terlalu mahal mendapat dukungan penuh dari Senator asal Jawa Timur, AA La Nyalla Mahmud Mattalitti.
La Nyalla menegaskan bahwa sistem pemilu yang ada saat ini telah membebani negara secara ekonomi dan merusak kohesi bangsa.
La Nyalla mengingatkan bahwa dirinya telah menyampaikan pandangan serupa secara resmi dalam pidato kenegaraan saat Sidang Bersama DPR dan DPD di Senayan pada 16 Agustus 2023.
Dalam pidatonya, ia menegaskan perlunya kembali pada sistem bernegara yang sesuai dengan rumusan para pendiri bangsa.
Baca Juga: Cuaca Ekstrem Berpotensi Melanda Jateng, Pemprov Jateng Upayakan Modifikasi Cuaca
Menurutnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) harus kembali menjadi lembaga tertinggi negara sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 naskah asli.
“Saya 100 persen mendukung apa yang disampaikan Presiden. Kita harus kembali menjalankan sistem bernegara sesuai rumusan para pendiri bangsa," tegas mantan Ketua DPD RI itu, Jumat 13 Desember 2024.
Penyempurnaan terhadap sistem asli Indonesia, yang tertuang dalam UUD 1945 naskah 18 Agustus 1945, dapat dilakukan melalui mekanisme addendum, bukan dengan mengganti sistem secara mendasar,” sambungnya.
La Nyalla menyoroti pernyataan Kementerian Keuangan bahwa APBN tahun 2024 mengalami defisit lebih dari Rp400 triliun.
Baca Juga: PMI Kota Magelang Lampaui Target, Dana Kemanusiaan Capai Rp1 Miliar
Salah satu penyebab utama, menurutnya, adalah tingginya biaya pemilu dan pilkada yang diselenggarakan tahun ini, selain alokasi untuk percepatan pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) serta program bantuan sosial (bansos) untuk mengatasi kemiskinan.
“Sistem politik yang mahal ini akan melahirkan ekonomi kelas atas atau high-class economy, di mana politik didanai oleh para bandar yang pada akhirnya mendikte kebijakan negara," ujar La Nyalla.
"Ini tidak sehat dan akan melahirkan ketidakadilan, karena negara dikuasai oleh segelintir orang. Hal ini merusak kohesi sosial bangsa kita," imbuhnya.
Ia juga mengutip pandangan Presiden Prabowo Subianto dalam buku Paradoks Indonesia dan Solusinya, di mana disebutkan bahwa angka gini ratio 0,36 menunjukkan ketimpangan kekayaan yang signifikan.