GRAHAMEDIA.ID - Urbanisasi yang pesat serta meningkatnya kebutuhan hunian di Indonesia menuntut solusi inovatif untuk mengatasi keterbatasan lahan. Menurut data dari Knight Frank Indonesia, pada tahun 2023 kebutuhan hunian mencapai 12,71 juta unit.
Sementara itu, hampir 10 persen penduduk Indonesia masih tinggal di hunian yang tidak layak. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah menggalakkan pembangunan hunian vertikal, seperti rumah susun, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Namun, meskipun secara fungsional menawarkan solusi atas masalah perumahan, hunian vertikal belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Apa yang menjadi penyebabnya? Yuk, kita bahas lebih lanjut!
Budaya Bermukim yang Mengakar
Salah satu tantangan terbesar dalam adaptasi hunian vertikal di Indonesia adalah budaya masyarakat yang lebih terbiasa tinggal di rumah tapak. Bagi sebagian besar masyarakat, rumah tapak bukan sekadar tempat tinggal, tetapi juga simbol status dan keamanan.
Hidup di hunian vertikal sering kali dianggap kurang sesuai dengan norma sosial yang telah terbentuk sejak lama.
Selain itu, masyarakat Indonesia memiliki gaya hidup yang komunal. Di lingkungan perumahan tapak, interaksi sosial dengan tetangga lebih intens, memungkinkan terciptanya kebiasaan gotong royong serta kegiatan sosial lainnya seperti arisan dan perayaan hari besar.
Sementara itu, hunian vertikal dianggap sebagai lingkungan yang lebih individualis, di mana interaksi antar penghuni cenderung lebih terbatas. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kehidupan bertetangga akan semakin berkurang, menghilangkan nilai-nilai sosial yang telah lama dijunjung tinggi.
Baca Juga: Pemerintah Perbaiki Hunian di Kawasan Pesisir Lewat Program BSPS
Persepsi Terhadap Hunian Vertikal
Menurut survei Jakarta Property Institute (JPI), sebanyak 46 persen milenial lebih memilih rumah tapak dibandingkan apartemen atau rumah susun. Persepsi masyarakat terhadap hunian vertikal dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah biaya.
Banyak yang menganggap harga dan cicilan hunian vertikal terlalu tinggi, terutama untuk apartemen yang dikembangkan oleh pihak swasta.
Selain itu, status kepemilikan hunian vertikal dengan Hak Guna Bangunan (HGB) yang memiliki batas waktu juga dianggap kurang menguntungkan dibandingkan kepemilikan penuh rumah tapak.
Artikel Terkait
Intip Inspirasi Desain Rumah Minimalis 1 Lantai Yang Bakal Tren di Tahun 2025
Pameran Fotografi "Buka Rana" di Klenteng Hok Tek Bio: Ruang Ekspresi dan Edukasi Seni di Purbalingga
Intip 5 Ide Dekorasi Balkon Rumah untuk Tempat Mengahabiskan Waktu Santai
Mengapa Memilih Desain Warna Monokrom pada Interior Rumah?
UGM dan Green Campus: Menikmati Kampus Hijau dengan Transportasi Ramah Lingkungan