Senin, 22 Desember 2025

Mengapa Hunian Vertikal Sulit Diterima di Indonesia?

Photo Author
- Selasa, 18 Februari 2025 | 11:52 WIB
Apartemen Transit Rancaekek Jawa Barat (p3jb.jabarprov.go.id)
Apartemen Transit Rancaekek Jawa Barat (p3jb.jabarprov.go.id)

GRAHAMEDIA.ID - Urbanisasi yang pesat serta meningkatnya kebutuhan hunian di Indonesia menuntut solusi inovatif untuk mengatasi keterbatasan lahan. Menurut data dari Knight Frank Indonesia, pada tahun 2023 kebutuhan hunian mencapai 12,71 juta unit.

Sementara itu, hampir 10 persen penduduk Indonesia masih tinggal di hunian yang tidak layak. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah menggalakkan pembangunan hunian vertikal, seperti rumah susun, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Namun, meskipun secara fungsional menawarkan solusi atas masalah perumahan, hunian vertikal belum sepenuhnya diterima oleh masyarakat. Apa yang menjadi penyebabnya? Yuk, kita bahas lebih lanjut!

Baca Juga: Ronaldo Bakal Sambangi Kupang, Intip Sederet Aksi Sosial yang Pernah Dilakukan sang Mega Bintang Sepak Bola Itu di Indonesia

Budaya Bermukim yang Mengakar

Salah satu tantangan terbesar dalam adaptasi hunian vertikal di Indonesia adalah budaya masyarakat yang lebih terbiasa tinggal di rumah tapak. Bagi sebagian besar masyarakat, rumah tapak bukan sekadar tempat tinggal, tetapi juga simbol status dan keamanan.

Hidup di hunian vertikal sering kali dianggap kurang sesuai dengan norma sosial yang telah terbentuk sejak lama.

Selain itu, masyarakat Indonesia memiliki gaya hidup yang komunal. Di lingkungan perumahan tapak, interaksi sosial dengan tetangga lebih intens, memungkinkan terciptanya kebiasaan gotong royong serta kegiatan sosial lainnya seperti arisan dan perayaan hari besar.

Sementara itu, hunian vertikal dianggap sebagai lingkungan yang lebih individualis, di mana interaksi antar penghuni cenderung lebih terbatas. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kehidupan bertetangga akan semakin berkurang, menghilangkan nilai-nilai sosial yang telah lama dijunjung tinggi.

Baca Juga: Pemerintah Perbaiki Hunian di Kawasan Pesisir Lewat Program BSPS

Persepsi Terhadap Hunian Vertikal

Menurut survei Jakarta Property Institute (JPI), sebanyak 46 persen milenial lebih memilih rumah tapak dibandingkan apartemen atau rumah susun. Persepsi masyarakat terhadap hunian vertikal dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah biaya.

Banyak yang menganggap harga dan cicilan hunian vertikal terlalu tinggi, terutama untuk apartemen yang dikembangkan oleh pihak swasta.

Selain itu, status kepemilikan hunian vertikal dengan Hak Guna Bangunan (HGB) yang memiliki batas waktu juga dianggap kurang menguntungkan dibandingkan kepemilikan penuh rumah tapak.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: M.Syahrul

Sumber: GRAHAMEDIA.ID, perkim.id

Tags

Artikel Terkait

Terkini

Inspirasi Desain Rumah Sederhana yang Populer

Rabu, 16 Juli 2025 | 10:03 WIB

Nikmatnya Buka Puasa dengan Dimsum Mentai

Rabu, 12 Maret 2025 | 07:34 WIB

Rusunawa: Solusi atau Sumber Masalah Baru?

Sabtu, 8 Maret 2025 | 15:49 WIB

Mengapa Hunian Vertikal Sulit Diterima di Indonesia?

Selasa, 18 Februari 2025 | 11:52 WIB

Terpopuler

X