GRAHAMEDIA.ID – Rumah Susun Sewa (Rusunawa) digadang-gadang sebagai solusi perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah di Indonesia.
Namun, realitas di lapangan justru menunjukkan bahwa banyak rusunawa berubah menjadi kawasan kumuh baru.
Alih-alih meningkatkan kualitas hidup penghuninya, rusunawa kerap kali menghadirkan berbagai tantangan, mulai dari infrastruktur yang kurang memadai hingga stigma sosial yang menyertainya.
Menurut data Direktorat Pengembangan Kawasan Permukiman Kementerian PUPR, kebutuhan rumah di Indonesia terus meningkat, mencapai 800 ribu unit per tahun.
Baca Juga: Ruas Jalan Gempol dan Bangkleyan Blora Kapan Akan Dibangun
Namun, kemampuan penyediaan hanya sekitar 20 persen dari jumlah tersebut. Dengan keterbatasan ekonomi masyarakat, rusunawa menjadi pilihan utama.
Sayangnya, pengelolaan yang buruk serta lokasi yang jauh dari pusat ekonomi membuat hunian ini tidak selalu nyaman.
"Banyak rusunawa yang kondisinya justru lebih buruk dari perumahan biasa. Infrastruktur seperti air bersih dan drainase sering kali tidak memadai, yang berdampak pada kesehatan penghuni," ungkap Sulistiowati, seorang pakar perumahan.
Tidak hanya persoalan infrastruktur, kepadatan tinggi dan minimnya pencahayaan alami juga menjadi keluhan utama penghuni.
Baca Juga: Mengaku Dapat Bisikan Gaib, Warga Jepara Nekat Terjun Ke Sumur. Begini Nasibnya...
Selain itu, jarak rusunawa yang jauh dari pusat kota menambah beban ekonomi mereka karena tingginya biaya transportasi.
Yang lebih mengkhawatirkan, stigma terhadap penghuni rusunawa semakin mengakar di masyarakat.
Rusunawa sering kali dikaitkan dengan kemiskinan dan lingkungan yang tidak bersih. Akibatnya, banyak penghuni merasa mendapat perlakuan diskriminatif di tempat kerja maupun dalam pergaulan sosial.
"Saya bekerja di sektor formal, tapi begitu orang tahu saya tinggal di rusunawa, pandangan mereka langsung berubah. Seolah-olah saya bagian dari kelompok masyarakat yang tidak mampu," ujar seorang penghuni yang enggan disebut namanya.