Ditambahkan Sigit, setelah buku terjemahan 3 cerpen Kafka terwujud ia pun mulai melakukan “gerilya” untuk mencari, mengajak, beberapa jaringan perkawanan yang memiliki pengalaman bersentuhan dengan teks-teks Kafka. Jika sebelumnya menerjemahkan cerpen kali ini, menulis esai. Hingga akhirnya terkumpullah 12 orang—termasuk dirinya yang terhimpun dalam buku Seratus Tahun Kafka.
Dalam Pengantar buku, Sigit mengungkapkan, ke-11 orang penyuka Kafka mencoba mengungkapkan bagaimana mereka bisa terhipnotis oleh karya Kafka. Esai-esai mereka membidik berbagai sudut dunia Kafka.
Anton Kurnia, mencari Kafka sampai di Praha sekaligus membandingkan dengan Prajurit Schweik karya Jaroslav Hašek. Triyanto Tiwikromo mencari tahu jejak Kafka di Berlin bersama Dora Diamant sampai Praha. Sementara Yusri Fajar, menginap di rumah teman di Cheko Praha untuk menziarahi makam Kafka.
“Kiki Sulistyo dan Delpedro Marhaen mencoba membandingkan adjektif Kafkaesque dalam tatanan birokrasi dan kesemerawutan hukum Indonesia. An Ismanto, penerjemah karya-karya Kafka mempertanyakan, jangan-jangan dirinya sudah menjadi Kafka. Sementara itu, Milena, pacar Kafka yang banyak membetot emosional Kafka, difantasikan ulang oleh Wahid Kurniawan,” tulis Sigit yang juga moderator milis Apresiasi Sastra (Apsas).
Penulis lain, Dedy Ahmad Hermansyah menulis Surat untuk Kafka yang berupa persinggungan emosional dengan karya Kafka sampai proses penerjemahan prosa Kafka ke dalam bahasa Sumbawa.
Sugito Sosrosasmito mengupas prosa Kafka dan masyarakat Jawa. Tak terkecuali, anak-anak Gregor Samsa di Dusun Slamet Meteseh Boja Kendal dengan reading-groupnya menyuntuki Metamorfosis yang dipandu oleh Heri Condro Santoso. Warih Wisatsana, penyair dari Bali, memotret masa lampaunya menjadi tokoh Gregor Samsa saat pementasan Metamorfosis serta merefleksikan dunia Kafka dengan dunia kekinian.
“Saya sendiri yang kebetulan tinggal di Swiss, lebih mudah mendapatkan bahan sekunder litetatur, mencoba mengepung Kafka dan karyanya dari berbagai sudut,” tutur penulis Menyusuri Lorong-lorong Dunia ini.
Sementara itu, Dedy Ahmad Hermansyah, salah satu penulis yang juga turut nimbrung dalam diskusi melaui Zoom Meeting, menyampaikan, dirinya sebenarnya tak terlalu mendalami teks-teks Kafka. Ia mengatakan, dirinya termasuk golonga pembaca karya-karya luar Indonesia yang baru bisa membaca saat ada yang menerjemahkan dan mendistribusikannya.
“Ketika mas Sigit menawariku untuk menulis esai tema Kafka, aku merasa tak punya pengetahuan dan pemahaman cukup untuk membuat esai akademis yang kaya secara intelektuall tentang Kafka. Aku terbilang baru dalam mengenal Kafka,” ujar Dedy dengan nada merendah.
Meski demikian, Dedy juga berpikir, apabila tidak diambil tawaran ini, ia merasa tidak tahu berterima kasih pada sosok Kafka. Sebab, karya-karya Kafka telah mengisi memori masa lalunya terutama saat kuliah di Universitas Hasanuddin Makassar.
“Maka, aku mencoba menulis melalui pendekatan dari sisi luar teks. Kebetulan aku bekerja di lembaga swadaya yang bergiat dalam isu kesehatan—dan salah satunya penyakit TBC. Dan, Kafka kita ketahui meninggal karena penyakit TBC di usia 42 tahun,” ujar Dedy juga turut ambil bagian dalam penerjemahan tiga cerpen Kafka dalam 13 bahasa daerah. Dedy mendapat jatah menerjemahkan dalam bahasa Sumbawa.
Mengapa Franz Kafka?
Mengapa Franz Kafka yang dipilih di tengah banyak alternatif sastrawan kaliber dunia maupun dari Indonesia? Sigit Susanto menjelaskan, gaya penulisan Franz Kafka sangat unik. Kafka tak hanya dinobatkan sebagai salah satu sastrawan paling berpengaruh pada abad 20, tetapi gaya penulisan Kafka menjadi Kafkaesk, yakni sebuah adjektiva baru dalam sastra dunia.
“Bilamana ada karya sastra yang lahir pascamasa Kafka mengandung kerumitan birokrasi, kebuntuan, pesimis, labirin gelap sampai pada kisah horor, maka akan diberi julukan karya itu berciri Kafkaesk,“ katanya.