GRAHAMEDIA.ID – Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Purbalingga, Ir Prayitno, mengingatkan bahwa gempa megathrust bukan prediksi, melainkan potensi. Warga diimbau tetap tenang dan menjalankan aktivitas seperti biasa.
Saat memberikan edukasi penanggulangan bencana kepada Unit Donor Darah (UDD) Palang Merah Indonesia (PMI) Purbalingga, Senin 28 Oktober 2024, Prayitno menekankan pentingnya mitigasi sebagai langkah antisipasi.
“Informasi potensi gempa dan tsunami disiapkan untuk meminimalisir dampak sosial dan ekonomi jika gempa kuat terjadi,” katanya.
Baca Juga: LINTANG: Program Pemkot Magelang Tingkatkan Literasi dan Praktik Nyata Generasi Muda
Menurut Prayitno, mitigasi gempa dilakukan secara struktural dan non-struktural.
Mitigasi struktural meliputi pembangunan gedung tahan gempa, penyiapan jalur evakuasi, dan penentuan lokasi aman.
Sementara itu, mitigasi non-struktural dilakukan melalui edukasi untuk meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan megathrust adalah bidang kontak antara dua lempeng tektonik di kedalaman dangkal.
Prayitno menjelaskan, zona megathrust sering mengalami gempa dengan magnitudo kecil, meski terkadang gempa besar dapat terjadi.
Baca Juga: Tingkatkan Kesehatan Lingkungan, 52 Desa di Purbalingga Terima DAK Sanitasi
Sebagai contoh, beberapa zona megathrust di Indonesia termasuk di antaranya Aceh-Andaman (M 9,2), Mentawai-Siberut (M 8,9), dan Selat Sunda-Banten (M 8,7).
Di wilayah ini, potensi gempa besar terjadi akibat pergerakan lempeng yang terkumpul di zona kontak lempeng aktif.
“Seismic gap, seperti di megathrust Mentawai dan Selat Sunda, adalah area gempa aktif namun tidak mengalami gempa besar dalam puluhan hingga ratusan tahun,” ungkap Prayitno, mencontohkan Selat Sunda yang terakhir mengalami gempa besar pada tahun 1757.
Ia mengingatkan, gempa di zona megathrust, meski dengan magnitudo kecil, tetap berpotensi membahayakan bila diabaikan.