Kendala ekonomi juga menjadi faktor penghambat bagi generasi muda, terutama Gen Z. Berdasarkan Indonesia Gen Z Report 2024 oleh IDN Research Institute, rata-rata pendapatan Gen Z masih di bawah Rp2,5 juta per bulan, sehingga sulit bagi mereka untuk mengakses hunian vertikal non-subsidi yang lebih banyak tersedia di pasar.
Kendala Ekonomi dan Kebijakan Berkelanjutan
Tidak hanya aspek budaya dan sosial, faktor ekonomi juga menjadi tantangan dalam adopsi hunian vertikal. Banyak masyarakat berpenghasilan rendah masih merasa bahwa rumah susun bersubsidi pun tidak terjangkau.
Harga sewa atau cicilan rumah susun yang disediakan pemerintah dianggap masih cukup tinggi bagi sebagian besar masyarakat miskin kota.
Di sisi kebijakan, pengembangan hunian vertikal yang terjangkau menghadapi berbagai tantangan, termasuk regulasi dan insentif bagi pengembang. Masyarakat juga lebih menyukai rumah tapak karena kepemilikannya yang lebih jelas dan memberikan rasa aman dalam jangka panjang.
Baca Juga: Ekspor Jateng Surplus 84,07 Juta Dolar AS Pada Januari 2025
Membangun Kesadaran dan Adaptasi
Adaptasi terhadap hunian vertikal di Indonesia memang tidak mudah. Meskipun ada beberapa keberhasilan dalam penyediaan rumah susun bagi masyarakat berpenghasilan rendah, tantangan budaya, persepsi, dan masalah sosial tetap menjadi hambatan utama.
Masyarakat masih merasa lebih nyaman tinggal di rumah tapak yang memberikan rasa kepemilikan serta keamanan yang lebih besar.
Untuk menjadikan hunian vertikal sebagai solusi jangka panjang bagi permasalahan perumahan di Indonesia, diperlukan upaya lebih dari pemerintah dan pengembang.
Penyediaan fasilitas yang mendukung interaksi sosial, kebijakan kepemilikan yang lebih fleksibel, serta penyesuaian harga agar lebih terjangkau menjadi langkah yang perlu diperhatikan.
Dengan pendekatan yang tepat, hunian vertikal bisa menjadi alternatif hunian yang lebih diterima dan memberikan solusi nyata bagi kebutuhan perumahan di Indonesia.(*)