Ketergantungan pada sumber daya alam sekitar membuat mereka merasa relokasi akan memperburuk kondisi ekonomi.
Pak Sukami, warga lainnya, menambahkan bahwa relokasi ke area yang lebih rendah akan menambah beban biaya transportasi untuk mengakses lahan rumput.
"Kalau [tempat tinggalnya pindah] di bawah itu kan jauh mas. Butuh biaya bensin [untuk] transportasi karena lahan rumputnya juga di sekitar/dekat sini," ungkap Sukami.
Baca Juga: Jateng Ditarget Produksi Padi 11,8 Juta Ton pada 2025, Mampukah?
Kekhawatiran Akan Masa Depan Generasi Penerus
Selain faktor ekonomi, keterikatan terhadap tanah kelahiran dan kekhawatiran akan generasi mendatang juga menjadi pertimbangan.
"Terus [tempat tinggal untuk] anak [dan] cucu bagaimana mas? Kan butuh rumah. Kalau di sini kan [lahannya] tinggal dibuatkan [rumah] saja," ungkap Pak Iman.
Bagi mereka, tanah di lereng Merapi bukan sekadar tempat tinggal, tetapi warisan untuk anak-cucu.
Ada juga kekhawatiran bahwa tanah yang mereka tinggalkan akan berubah fungsi menjadi lahan komersial atau wisata.
"Kalau sudah seperti itu jadi tidak bisa ditempati lagi. [Padahal] tempat wisata castle itu juga [masuk ke bagian KRB] yang dikelola orang asing. Kenapa warga setempat diusir, kalau untuk tempat wisata milik orang asing boleh?," keluh Pak Nurjiyono.
Baca Juga: Malioboro: Harmoni Sejarah, Budaya, dan Kehidupan Kota Yogyakarta
Refleksi Solusi Relokasi
Sebagian besar warga sebenarnya bersedia direlokasi jika mereka tetap memiliki akses ke aset penting, seperti lahan rumput.
Namun, pasca-relokasi, warga sering kehilangan akses ini. Hal ini menunjukkan bahwa relokasi permanen bukanlah solusi tunggal.
Dove dan Hudayana (2008) mencatat bahwa warga menganggap erupsi sebagai ancaman yang dapat diperhitungkan, sementara kehilangan ekonomi akibat relokasi dianggap lebih berisiko.
Artikel Terkait
Pahargyan Agung dan Kirab Pusaka: Ajang Edukasi Kebudayaan di Hari Jadi Kabupaten Purbalingga
Parade Keroncong: Merawat Tradisi di Hari Jadi Purbalingga
Relokasi Permukiman Bantaran Sungai Ciliwung di Kampung Pulo, Normalisasi atau Marginalisasi?
Meriah dan Penuh Warna: Pawai Budaya Rayakan Hari Jadi Ke-194 Kabupaten Purbalingga
Jembatan Rejosari: Dulu Bersabung Nyawa, Kini Nyaman Dilewati