GRAHAMEDIA.ID - Gunung Merapi, salah satu gunung api paling aktif di dunia, telah mencatatkan sejarah panjang erupsi besar sejak tahun 1006, dengan peristiwa besar lainnya terjadi pada 1672, 1872, 1930, 1954, 1994, dan 2010.
Aktivitas vulkanik yang tak henti-hentinya ini menjadikan Merapi sebagai ancaman sekaligus bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat sekitarnya.
Berdasarkan data Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) tahun 2023, terdapat tiga desa di Kapanewon Cangkringan, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang masuk Kawasan Rawan Bencana (KRB) Merapi.
Yaitu, Kalurahan Glagaharjo, Kepuharjo, dan Umbulharjo. Kawasan ini dihuni oleh sekitar 13.578 penduduk yang hidup berdampingan dengan risiko bencana.
Baca Juga: Harga Solartuff Flat Per Roll, Cocok untuk Atap Rumah
Namun, meskipun pemerintah berulang kali berupaya merelokasi penduduk ke wilayah yang lebih aman, banyak warga yang memilih untuk tetap tinggal.
Fenomena ini terlihat di Kalurahan Glagaharjo, di mana pemukiman permanen masih berdiri kokoh di kawasan KRB III, termasuk di Padukuhan Srunen, Kalitengah Lor, dan Kalitengah Kidul.
Alasan di Balik Pilihan Tinggal di Kawasan Rawan
Upaya relokasi warga lereng Merapi telah dimulai sejak erupsi 1930-1931 melalui program kolonisatie atau transmigrasi.
Namun, langkah ini kerap menemui kendala, salah satunya adalah keengganan warga meninggalkan tanah kelahiran mereka.
Faktor ekonomi dan keterikatan emosional menjadi alasan utama. Seperti yang dicatat oleh Laksono (1988), banyak warga yang kembali ke daerah asal mereka karena merasa kehidupan di tempat baru tidak memberikan kepastian.
Di kawasan KRB III, mayoritas warga bergantung pada peternakan sapi perah dan potong serta penambangan pasir, pekerjaan yang berkembang pasca-erupsi 1994.
"Sekarang kami mencari rumput untuk pakan ternak dan menjadi buruh tambang untuk penghasilan tambahan. Kami mencari rumput di lahan sendiri, kalau tidak begitu disebut maling," ujar Pak Ari, salah satu warga Kalurahan Glagaharjo.