Senin, 22 Desember 2025

Tindaklanjuti Putusan MA Hanya Dengan Surat Edaran, KPU Membuat Perjuangan Perempuan Mundur

Photo Author
- Selasa, 10 Oktober 2023 | 21:27 WIB
Sejumlah aktivis yang menamai diri Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mendatangi kantor Bawaslu, Senin 8 Mei 2023 (konde.co)
Sejumlah aktivis yang menamai diri Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mendatangi kantor Bawaslu, Senin 8 Mei 2023 (konde.co)



GRAHAMEDIA.ID - Sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung (MA) dengan hanya mengeluarkan surat edaran yang berisi himbauan pada partai politik mendapat sorotan dari kalangan akademisi dan praktisi pemilu.

Mereka menilai sikap KPU ini semakin menguatkan dugaan pelanggaran etik penyelenggara pemilu yang mengabaikan peraturan perundang-undangan mengenai syarat 30 persen% pencalonan perempuan di tiap daerah pemilihan DPR/DPRD.

Hal itu mengemuka dalam diskusi “Jaga Kualitas Pemilu: KPU Patuh pada Putusan MA – DKPP Tegas Sanksi Penyelenggara” secara daring, Jumat 6 Oktober 2023.

Dosen Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya, Dhia Al-Uyun mengatakan, maksud dari affirmative action adalah kebijakan yang digunakan untuk mengoreksi diskriminasi, karena sebelumnya memang ada diskriminasi terhadap perempuan.

Hal itu diatur dalam konstitusi pada Pasal 28H ayat (2) UUD 1945, yang berbunyi, setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Lebih jauh, Dhia menerangkan, sejak 24 Juli 1984 Pemerintah Indonesia resmi meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.

Baca Juga: Hanya Keluarkan SE, Tindaklanjut KPU Atas Putusan MA Soal 30 Persen Perempuan di Dapil Langgar Kode Etik

Sebagai informasi, CEDAW lahir dari pengalaman diskriminasi perempuan di berbagai belahan dunia dan perjuangan panjang untuk membangun komitmen global bahwa hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia.

“Jadi kalau KPU bermain-main dengan regulasi keterwakilan perempuan, itu konteks ke atas akan banyak. Tidak lagi masalah UUD, tapi juga komitmen internasional. Dan itu bukan sesuatu yang bisa diperdebatkan lagi,” terang Dhia.

Menurut Dhia, perjuangan perempuan untuk kesetaraan sudah berlangsung dan berkembang panjang sekali.

Dengan tidak direvisinya PKPU tersebut, akan membuat perjuangan perempuan mundur kembali, kesetaraan yang diupayakan oleh pemerintah selama ini juga tidak akan terwujud.

“Kalo dibiarkan luka itu (diskriminasi perempuan) tidak akan tertutup sempurna,” tegasnya.

Untuk melaksanakan putusan MA, lanjut Dhia, tidak diperlukan ahli hukum lain, karena sudah jelas semua aturannya.

Kecacatan dalam regulasi itu kalau tidak segera dibetulkan akan membawa pada hal buruk yang lebih banyak.

Sementara itu anggota KPU periode 2004-2007, Valina Singka Subekti menyayangkan tindakan KPU tersebut.

Baca Juga: Pemilu di Jateng Terpetakan Rawan Sedang, Inilah Strategi Pemprov Jateng agar Tetap Kondusif

Menurutnya keterwakilan perempuan minimal 30 persen sudah menjadi komitmen nasional untuk menghadirkan pemilu yang berintegritas.

Sebagai lembaga penyelenggara pemilu, mestinya KPU merevisi PKPU dan memastikan keterwakilan perempuan melalui regulasi yang jelas.

“Bukan dengan membuat nota dinas surat edaran pada partai, tapi KPU mestinya merevisi PKPU dan partai wajib melaksanakan PKPU yang dibuat,” terang Valina.

Valina menyoroti masalah kemandirian KPU yang terus menurun.

Menurutnya, kemandirian penyelenggara pemilu adalah bagian integral dari election with integrity yang harus tercermin dari kebijakan secara keseluruhan.

Lebih jauh, ia menjabarkan persoalan kemandirian KPU itu erat kaitannya dengan konstruksi awal pembentukan lembaga.

Sejak awal KPU dikonstruksikan memang tidak sama dan setara dengan lembaga lain.

Menurutnya, melalui istilah mandiri ada keinginan KPU tidak sepenuhnya independent.

Misalnya, dengan aturan-aturan turunan yang semakin mengikat KPU seperti sistem recruitment, pembuatan regulasi, dan anggaran pemilu.

“Ketiga hal itu membuat KPU tidak bisa hadir sepenuhnya menjadi lembaga yang independen. Karena itu penyelenggara pemilu harus diawasi. Dan itu bukan persoalan, karena sekarang sudah ditekan dan diawasi aja masih diterbas saja,” ungkapnya.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Syahrul Munir

Sumber: rumahpemilu.org

Tags

Artikel Terkait

Terkini

 Jawa Tengah Siap Sambut Nataru, Inilah Kesiapannya

Minggu, 21 Desember 2025 | 16:40 WIB

Terpopuler

X