Senin, 22 Desember 2025

Pakar Hukum UNAIR: Perang Harus Berdasarkan Distinction Principle, Perempuan dan Anak Tak Boleh Diserang

Photo Author
- Selasa, 10 Oktober 2023 | 23:41 WIB
Ilustrasi anak anak dalam situasi peperangan (https://sastrahelvy.files.wordpress.com)
Ilustrasi anak anak dalam situasi peperangan (https://sastrahelvy.files.wordpress.com)



GRAHAMEDIA.ID - Duta Besar Palestina untuk Indonesia Zuhair Al-Shun dalam konferensi pers di Kedutaan Besar Palestina, Jakarta, Selasa 10 Oktober 2023 mengatakan, pihak Israel telah mengabaikan regulasi dan aturan internasional serta aspek kemanusiaan.

Sebab situasi di Gaza Pelestina pasca serangan Hamas, bangunan-bangunan dihancurkan oleh Israal dengan sangat brutal bahkan saat orang-orang masih berada di dalamnya.

Semuanya adalah warga sipil, anak-anak, perempuan, dan orang tua.

Eskalasi Israel-Palestina untuk kesekian kalinya ini sebenarnya pernah disoroti oleh Airlangga Institute for International Law Studies (AIILS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Pada 21 Mei 2021, AIILS pernah menggelar diskusi bertajuk “Humanitarian Talks: Kejahatan Perang di Jalur Gaza: Respon Indonesia dan Hukum Internasional.”

Saat itu dosen alumni program doktor FH UNAIR bidang keahlian hukum humaniter, Dr. Enny Narwati mengatakan bahwa pada prinsip hukum internasional, perang bukanlah suatu hal yang terlarang.

Peperangan merupakan salah satu bentuk dari hubungan yang terjalin antarnegara. Namun demikian, hukum humaniter internasional membatasi praktik peperangan agar tidak jadi buta.

Baca Juga: Duta Besar Palestina untuk Indonesia: Israel Mengabaikan Aturan Internasional Serta Aspek Kemanusiaan 

Suatu peperangan dikatakan buta apabila tidak mengedepankan sisi kemanusiaan.

Maka dari itu, hukum humaniter turut mengatur prinsip peperangan agar sesuai dengan kemanusiaan.

“Prinsip hukum humaniter adalah military necessity (kebutuhan militer) yang dibarengi dengan distinction principle (asas perbedaan),” ujar Dr. Enny.

Prinsip yang dimaksud yakni, dalam perang harus berdasarkan kebutuhan militer dan membedakan antara hak serta kewajiban militer dengan warga sipil.

Hal itu agar warga sipil tidak turut menjadi korban kejahatan dalam perang.

Dr. Enny menambahkan, bahwa perlindungan warga sipil yang paling diutamakan adalah perempuan dan anak.

Sehingga seharusnya berperang yang benar harus berdasarkan distinction principle, maka warga sipil terutama perempuan dan anak tidak boleh diserang.

"Yang boleh diserang dan menyerang hanya tentara atau combatman,” jelas Dr. Enny.

Baca Juga: Terus Memantau Situasi, NU Segera Salurkan Bantuan Kemanusiaan ke Gaza Palestina

Selain itu, ada kewajiban negara untuk warga dan objek sipil harus dijauhkan dari area peperangan agar mereka tidak terkena dampak peperangan.

"Ada kewajiban negara, bahwa civilian (warga sipil) jangan didekatkan dengan area peperangan," jelanya.

Sementara itu menanggapi pemberitaan bahwa Israel juga menyerang kantor media yang notabene merupakan objek sipil, Dr. Enny menyatakan bahwa hal itu tidak bisa langsung dianggap sebagai sesuatu yang salah.

Karena menurutnya, objek sipil bisa menjadi hal yang disalahgunakan dan membuat keuntungan signifikan bagi militer di salah satu pihak.

Sejatinya konflik yang terjadi di antara Israel dan Palestina telah terjadi selama lebih dari 70 tahun.

Meskipun telah terjadi gencatan senjata berulang kali, namun nyatanya konflik tersebut masih terjadi lagi.

“Harus ada yang memastikan bahwa gencatan senjata ini dilaksanakan oleh kedua belah pihak dan masyarakat internasional memiliki kewajiban untuk mengawal agar hal itu (gencatan senjata, Red) dapat berlaku secara efektif,” pungkas Edy.***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Syahrul Munir

Sumber: https://unair.ac.id

Tags

Artikel Terkait

Terkini

 Jawa Tengah Siap Sambut Nataru, Inilah Kesiapannya

Minggu, 21 Desember 2025 | 16:40 WIB

Terpopuler

X