GRAHAMEDIA.ID - Sikap Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung (MA) dengan hanya mengeluarkan surat edaran yang berisi himbauan pada partai politik mendapat sorotan dari kalangan akademisi dan praktisi pemilu.
Mereka menilai sikap KPU ini semakin menguatkan dugaan pelanggaran etik penyelenggara pemilu yang mengabaikan peraturan perundang-undangan mengenai syarat 30 persen pencalonan perempuan di tiap daerah pemilihan DPR/DPRD.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai lembaga peradilan etik pemilu harus meluruskan keadaan ini dengan mengeluarkan putusan sidang etik yang sejalan dengan putusan peradilan MA.
“Kan harusnya vonis dilawan dengan vonis. Sementara fatwa itu tidak mengikat, jadi nggak bisa vonis dilawan dengan fatwa,” kata Zainal Arifin Mochtar dalam diskusi “Jaga Kualitas Pemilu: KPU Patuh pada Putusan MA – DKPP Tegas Sanksi Penyelenggara” secara daring, Jumat 6 Oktober 2023.
Zainal menilai putusan MA terkait keterwakilan 30 persen perempuan sudah benar secara materiil. Menurutnya, mau menggunakan pendekatan apapun keputusan MA sudah tepat, karena memang ada sesuatu yang ingin dicapai.
Baca Juga: Amankan Pemilu 2024, Polda Jateng Akan Kerahkan 21.300 personel
Zainal menganggap aneh logika KPU mengeluarkan surat edaran pada partai politik.
Ia menerangkan, bahwa produk hukum yang dikeluarkan secara benar oleh lembaga yang memiliki kewenangan adalah sah dan mengikat. Keputusan MA sudah final karena tidak ada lembaga lain lagi untuk banding.
“Jadi memang haram ke bawah dan wajib ke atas. Affirmative action itu masuknya dalam konsep equity, kita nggak bisa pake filosofi equality before the law,” tegas Zainal.
PKPU harus direvisi karena diperintahkan secara hukum.
PKPU dan Undang-Undang merupakan satu paket dalam menjalankan pemilu. Dengan mengeluarkan surat edaran itu, Zainal mengibaratkan, KPU memilih memukul menggunakan gabus, sementara sebenarnya mempunyai palu untuk memukul.
“KPU harus sadar bahwa ini adalah kepentingan politik, kalau membiarkan adanya lubang kosong seperti ini, sama halnya KPU sengaja membuat lubang api,” tegasnya.
Resikonya lanjut Zainal, jika aparatur negara tidak menjalankan putusan hukum maka hal itu masuk tindakan sewenang-wenang.
Baca Juga: Pemilu di Jateng Terpetakan Rawan Sedang, Inilah Strategi Pemprov Jateng agar Tetap Kondusif
Untuk itu DKPP sebagai dewan etik yang mengawasi KPU harus bertindak tegas, karena KPU tidak menjalankan putusan hukum, perintah pengadilan dan peraturan perundangan yang ditetapkan di pengadilan.
“DKPP mau tidak mau harus bertindak profesional. DKPP tidak boleh main-main, karena pertaruhannya adalah pemilu. Dan Ini persoalan masa depan pemilu,” sambungnya.
Sementara itu Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menjelaskan, demokrasi yang substantif tidak akan terjadi jika keterwakilan perempuan tak diwadahi.
Hal itu akan berdampak pada kebijakan yang dihasilkan akan bias dan timpang.
Bivitri melihat PKPU 10/2023 terlalu matematis dan tidak memihak pada keterwakilan perempuan.
Ia menyebut aturan itu hanya memihak pada partai politik yang gagal melakukan pendidikan politik dan membangun sistem integritas.
Baca Juga: Menjelang Pendaftaran Capres-Cawapres, Greenpeace Serukan Pemilu Tanpa Oligarki
“Kegagalan itu bukannya diatasi, tapi malah ditutupi dengan merusak sistem pemilu kita. Yang buruk partainya yang dirusak pemilunya,” kata Bivitri.
Keterwakilan perempuan dalam partai politik selama ini masih artifisial karena tujuannya kekuasan, bukan demokrasi.
Ia menyoroti fenomena umum di partai politik, yang hanya menempatkan kader perempuan untuk memenuhi kuantitas dan mengajak perempuan terkenal untuk pendulangan suara.
Lebih lanjut, Bivitri menilai upaya KPU untuk tidak melakukan revisi PKPU berdampak pada kelonggaran hukum yang sangat mungkin dimanfaatkan oleh partai politik untuk kepentingannya.
Hal itu juga akan membuat proses pemilu tidak substantif, karena tidak pernah ada suatu ketegasan.***