“Se simple itu, AA Navis menutup cerpennya. Banyak tafsir atas cerpen ini. Salah satunya, menggambarkan manusia sebegitu tak pedulinya dengan manusia lain!” tandas Fitriyani yang juga lulusan SMAN 1 Boja.
Baca Juga: Mengenang Satu Abad Franz Kafka, Sejumlah Penulis Terbitkan Kumpulan Esai Seratus Tahun Kafka
Pentingnya Guru Mengenalkan Sastra
Ali Akbar Navis merupakan sastrawan kelahiran Sumatera Barat, 17 November 1924 dan wafat pada 22 Maret 2003. Ia dikenal sebagai seorang sastrawan, kritikus budaya, dan politikus Indonesia. Merujuk Wikipedia.org, AA Navis telah menghasilkan 65 karya sastra dalam pelbagai bentuk sejak mulai menulis pada 1950.
Karya-karya itu meliputi novel, cerpen, puisi, otobiografi, cerita rakyat, hingga non-fiksi. Karya-karyanya berjumlah sekira 22 buku, ditambah lima antologi bersama sastrawan Indonesia lain dan delapan antologi luar negeri, serta 106 makalah akademis yang dihimpun dalam buku Yang Berjalan Sepanjang Jalan.
Pada suatu masa, AA Navis pernah menyatakan kegelisahannya terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Ia mengatakan, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi, siswa hanya diberi pengajaran untuk menerima pengetahuan tanpa diberikan kesempatan untuk berpikir secara kritis. Anak-anak tidak diajarkan untuk menulis dengan baik, padahal menulis dapat membuka pikiran mereka.
Dalam pandangan AA Navis, membaca karya sastra dapat membantu orang berpikir kritis dan memahami konsep hidup. Ia mencontohkan, banyak karya sastra di Indonesia yang menceritakan tentang orang-orang munafik.
Hal itu seharusnya diajarkan kepada anak-anak agar mereka dapat mengerti bahwa di tengah masyarakat banyak orang munafik. Tetapi, "pemerintah tampaknya tidak mengajarkan sastra supaya orang tidak melihat orang-orang yang munafik."
Menurut Fitri, kritik dan pemikiran-pemikiran AA Navis masih relevan hingga sekarang. Salah satunya, begitu pentingnya generasi muda mempelajari karya sastra. Fitriyani mengatakan, pentingnya meregenerasi pembaca sastra sejak dini.
Mulai dari keluarga, masyarakat hingga sekolah. “Guru punya peran besar untuk mengenalkan tulisan bagus (sastra-Red) ke murid-muridnya,” tutur Fitriyani yang juga mengajar di salah satu sekolah swasta terkemuka di Kota Semarang ini.
Dalam kesempatan itu, Fitri mengajak sesama guru untuk memiliki referensi bahan bacaan yang baik dan bermutu bagi para muridnya. Ia melihat masih belum semua guru memiliki budaya membaca yang memadai—apalagi membaca karya sastra.
“Saya melihat ada guru mapel Bahasa Indonesia yang tak suka sastra, apalagi guru mapel lain,” keluh Fitri.
Di hadapan hadirin, Fitriyani, berpesan, siapapun mempunyai peran untuk mengenalkan sastra pada anak-anak atau lingkungan terdekatnya.
Ia pun mencontohkan, hari ini, dalam momentum mengenang 100 tahun 3 sastrawan besar ini, masyarakat bisa mulai kenalkan karya-karya mereka pada anak-anak dan lingkungan masing-masing. “Kalau ingin kenalkan sastra mulailah dari lingkungan terkecil,” tandasnya.
Baca Juga: Mengenang 3 Sastrawan Besar Ala Pegiat Literasi Boja Kendal: Dari Diskusi hingga Panggung Literasi
Artikel Terkait
Manuskrip Puisi “Wanitaku” karya Wahyu Indah Puji Lestari Raih Kendal Puisi Award 2023
Inilah Profil Wahyu Indah Puji Lestari, Pemenang Kendal Puisi Award 2023
Bangun Literasi Santri, BAZNAS Terbitkan Buku Teladan Ulama Nusantara
Melalui Naskah Lakon "Manitis", Verry Khoerul Mizan Menangi Kendal Lakon Award 2024. Hadiahnya Unik
Mengenang 3 Sastrawan Besar Ala Pegiat Literasi Boja Kendal: Dari Diskusi hingga Panggung Literasi
Mengenang Satu Abad Franz Kafka, Sejumlah Penulis Terbitkan Kumpulan Esai Seratus Tahun Kafka