produktivitas

Indonesia Tenggelam dalam Beton: Ruang Terbuka Hijau Kian Menyusut

Selasa, 26 November 2024 | 08:54 WIB
Babakan Siliwangi sebagai bagian RTH Kota Bandung (bandung.go.id)

GRAHAMEDIA.ID - Indonesia, dengan pesona alamnya yang memukau, kini menghadapi ancaman serius: transformasi menjadi hutan beton.

Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi, menggantikan hutan kota yang dahulu memberikan kesejukan dan napas segar bagi masyarakat.

Kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Semarang kini serupa paru-paru yang tersumbat—haus akan oksigen segar dan ruang terbuka hijau (RTH) yang memadai.

Krisis ini bukan hanya tentang keindahan yang hilang. Minimnya RTH membawa konsekuensi serius bagi kesehatan masyarakat dan keseimbangan lingkungan.

Polusi udara yang tak terkendali, banjir yang semakin sering, hingga suhu kota yang kian meningkat menjadi "harga" dari pembangunan yang mengabaikan lingkungan.

Baca Juga: Anggota Bawaslu Surabaya Dipecat!

RTH yang Menyusut: Realita Kelam Kota Indonesia

Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 sebenarnya telah menegaskan bahwa setiap kota harus menyediakan minimal 30 persen dari luas wilayahnya untuk RTH—20 persen untuk publik, dan sisanya untuk privat.

Namun, kenyataannya jauh dari harapan. Data dari Kementerian PUPR tahun 2019 menunjukkan bahwa hanya 13 dari 174 kota di Indonesia yang memenuhi standar tersebut.

Itu berarti, hanya sekitar 6 persen kota di negeri ini yang berhasil menjaga keseimbangan antara beton dan hijau.

Di Jakarta, misalnya, RTH yang tersedia hanya 5,18 persen dari total luas wilayah. Angka ini jauh dari amanat undang-undang.

Kota-kota lain seperti Semarang (15 persen) dan Bandung (12,25 persen) juga tidak lebih baik.

Kontras dengan Singapura, negara tetangga yang telah berhasil mengalokasikan lebih dari 47 persen wilayahnya untuk ruang hijau, kondisi di Indonesia terasa memprihatinkan.

Baca Juga: 4.425 Linmas Disiagakan untuk Pengamanan TPS Pilkada 2024 di Purbalingga

Antara Regulasi dan Realita: Mengapa Sulit Mempertahankan RTH?

Masalah utama bukan terletak pada kurangnya regulasi. Beragam aturan, seperti Peraturan Menteri Agraria Nomor 14 Tahun 2022, telah dikeluarkan untuk menegaskan pentingnya RTH sebagai penyedia jasa ekosistem.

Namun, implementasinya sering kali menghadapi berbagai kendala.

Pembangunan infrastruktur masif yang terus dikejar tanpa mempertimbangkan ruang hijau menjadi salah satu penyebab utama.

Halaman:

Tags

Terkini

Bunda Literasi di Era Artificial Intelligence

Sabtu, 24 Mei 2025 | 16:52 WIB