produktivitas

Mengakrabi Karakter Cerpen Robohnya Surau Kami di Festival Kecil: Tiga Sastrawan Besar

Minggu, 29 Desember 2024 | 07:41 WIB
Fitriyani (cerpenis cum guru) dan Anindita Tisa Amanda (pegiat literasi dari Teras Baca Boja) dalam diskusi “AA Navis: Karya dan Dunianya,” Minggu (22/12) di Gedung Sastra & Sosial Guyub Desa Bebengan (Komunitas Lereng Medini)

GRAHAMEDIA.ID - Cerita pendek (cerpen) Robohnya Surau Kami masih begitu membekas dalam ingatan publik sastra hingga kiwari. Meski ditulis  oleh AA Navis 1955, cerpen itu seolah memiliki daya pikat dan magis yang membuat para pembacanya terus terkenang kisah bualan tokoh Ajo Sidi yang menyebabkan kakek penjaga surau meninggal bunuh diri.

Demikian salah satu bahasan yang mengemuka dalam diskusi “AA Navis: Karya dan Dunianya,” Minggu (22/12) di Gedung Sastra & Sosial Guyub Desa Bebengan Boja Kendal Jawa Tengah.

Sebagai narasumber dalam diskusi tersebut yakni Fitriyani (cerpenis cum guru) dan dipandu Anindita Tisa Amanda (pegiat literasi dari Teras Baca Boja). Acara dihadiri belasan penikmat sastra yang terdiri dari mahasiswa, guru, hingga sebagian siswa SMP-SMA di wilayah Singorojo-Boja-Limbangan (Siboli) Kendal.

Diskusi mengenang AA Navis tersebut sebagai salah satu rangkaian “Festival Kecil: Tiga Sastrawan Besar” yang diselenggarakan sejumlah komunitas dan pegiat literasi di Kecamatan Boja. Acara ini digelar secara gotong royong oleh: Teras Baca Boja (TBB), Boja Baca, Bukit Buku, Komunitas Lerengmedini (KLM), dan Perpustakaan Ajar.

Tak hanya diskusi, acara juga diisi dengan  panggung literasi, jemuran puisi, pameran karya, lapak buku, teras kreasi, dan bincang sastrawan.

Robohnya Surau Kami merupakan salah satu cerpen  AA Navis yang memiliki ketenaran di jagat sastra Indonesia. Cerpen ini pertama kali terbit pada tahun 1955. Cerpen ini oleh sebagian kritikus sastra dinilai sebagai salah satu karya monumental AA Navis dalam dunia sastra Indonesia.

Cerpen Robohnya Surau Kami berkisah tentang kisah tragis matinya seorang Kakek penjaga surau (masjid yang berukuran kecil) di kota kelahiran tokoh utama cerpen itu. Dia--si Kakek meninggal dengan  menggorok lehernya sendiri setelah mendengar bualan tokoh Ajo Sidi. Cerita Ajo Sidi bertutur tentang Haji Saleh yang masuk neraka walaupun pekerjaan sehari-harinya beribadah di Masjid--persis seperti apa yang dilakukan oleh si Kakek.

Haji Saleh dalam cerita Ajo Sidi adalah orang yang rajin beribadah. Ia merasa orang yang paling taat beribadah. Bisa disebut, semua laku ibadah syariat dari Tuhan telah ia laksanakan semua.

Namun, pada saat "hari keputusan", hari ditentukannya manusia masuk surga atau neraka, ternyata Haji Saleh bersama sejumlah orang justru dimasukkan ke neraka. Spontan, Haji Saleh pun memprotes Tuhan. Maka, oleh Tuhan, dijelaskanlah alasan dia masuk neraka,

"Kamu tinggal di tanah Indonesia yang mahakaya raya, tapi engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tetapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang." Begitu penjelasan Tuhan dalam cerpen itu.

Singkat cerita, merasa tersindir dan tertekan oleh cerita Ajo Sidi, si Kakek pun murung bukan kepalang. Syahdan, ia memutuskan bunuh diri. Dan Ajo Sidi, yang mengetahui kematian Kakek, hanya berpesan kepada istrinya untuk membelikan kain kafan tujuh lapis untuk Kakek, lalu pergi kerja.

“Ada sesuatu yang besar, yang berhasil disajikan AA Navis dalam cerpen-cerpennya. Padahal, hal itu diambil dari peristiwa sehari-hari. Salah satunya dalam cerpen Robohnya Surau Kami. Saya masih terkenang tokoh si pembual Ajo Sidi dalam cerpen itu sampai sekarang,” ujar Fitriyani.

Menurut Fitriyani, dari gaya penceritaan, salah satu kelebihan AA Navis adalah percakapan antartokoh dan cara dia menutup cerita. “Singkat tapi penuh makna,” tutur mantan pegiat Teater GEMA UPGRIS ini.

Ia pun mengajak hadirin menyimak serta mencermati dengan saksama bagian akhir dalam cerpen Robohnya Surau Kami antara si kakek pencerita dengan istri Ajo Sidi. “Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang. Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia. “Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi. “Tidak ia tahu Kakek meninggal?” “Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.” “Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang ke mana dia?” “Kerja.” “Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.“Ya, dia pergi kerja.”

Halaman:

Tags

Terkini

Bunda Literasi di Era Artificial Intelligence

Sabtu, 24 Mei 2025 | 16:52 WIB