Merlion Bontang, Potret Landmark yang Kehilangan Identitas Lokal

Tidak ada fasilitas pendukung seperti taman atau ruang publik lainnya yang bisa membuat kawasan ini lebih hidup dan relevan bagi masyarakat lokal.

Alih-alih menjadi pusat kegiatan sosial, patung ini sekarang menjadi sepi dan kurang terawat.

Fenomena seperti Patung Merlion di Bontang bukanlah hal baru di Indonesia.

Banyak kota berlomba-lomba membangun landmark megah untuk menarik wisatawan, tanpa memperhatikan kebutuhan dan keinginan masyarakat setempat.

Baca Juga: Panduan Plamir Tembok Secara Mandiri Tanpa Bantuan Tukang

Data dari Kementerian PUPR pada 2019 menunjukkan bahwa hanya 13 dari 174 kota di Indonesia yang telah memenuhi proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 30 persen sesuai dengan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007.

Padahal, ruang publik hijau jauh lebih dibutuhkan oleh masyarakat perkotaan daripada patung-patung ikonik yang hanya berfungsi sebagai hiasan.

Tantangan besar bagi pemerintah kota dan pengembang adalah bagaimana membangun landmark yang tidak hanya indah di mata, tetapi juga bermakna dan fungsional bagi masyarakat.

Contoh sukses dari pembangunan ruang publik yang melibatkan masyarakat adalah Taman Menteng di Jakarta.

Baca Juga: Rekomendasi Destinasi Wisata Ramah Anak di Indonesia. Cek..Cek..!

Fasilitas ini dirancang berdasarkan aspirasi warga, sehingga mereka tidak hanya terlibat dalam pembangunannya tetapi juga dalam pemeliharaannya.

Sebagai kota yang sedang berkembang, Bontang bisa belajar dari contoh-contoh tersebut.

Landmark yang mencerminkan budaya dan sejarah lokal akan memiliki kedekatan emosional yang lebih besar dengan masyarakat, sekaligus memperkuat identitas kota di mata wisatawan.

Daripada mengadopsi simbol dari kota lain, Bontang bisa menciptakan ikon tersendiri yang mencerminkan kekayaan budaya Kalimantan, seperti sejarah masyarakat pesisir atau keanekaragaman alam yang mempesona.

Baca Juga: Dana Terbatas, Begini Cara Membangun Rumah Secara Bertahap yang Efektif dan Efisien