Sejumlah guru bangsa yang pernah berguru kepada Kiai Shaleh diantaranya KH Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama), KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah), KH Munawir Kyapayak Yogyakarta, KH Abdul Wahab Chasbullah, dan ulama-ulama lain.
Sedangkan murid dari kalangan non kiai yang terkenal adalah pahlawan emansipasi wanita, Raden Ajeng Kartini.
Putri Bupati Jepara ini sewaktu menikah dengan Bupati Rembang Joyodiningrat, diberi kado oleh Kiai Sholeh Darat berupa kitab Tafsir Alqur’an Faidhur Rohman fi Tarjamati Tafsiri Kalam Al-Malik al-Dayan.
Itu merupakan kitab tafsir Al-qur’an pertama di Indonesia dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. “Saat ini kitab tafsir itu berada di Museum Kartini Rembang,” tutur Taufiq.
Melalui kitab yang dihadiahkan dari Kiai Sholeh Darat itu, Kartini banyak belajar tentang Islam. Kartini menemukan ayat yang amat menyentuh nuraninya, yaitu “Orang-orang beriman dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya” (Q.S Al-Baqoroh:257).
Dalam banyak suratnya kepada temannya orang Belanda, JH Abendanon, Kartini banyak mengulang kata “dari gelap menuju cahaya” yang ditulisnya dalam bahasa Belanda “Door Duisternis Toot Licht”. Oleh Armin Pane ungkapan ini diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang” yang menjadi untuk buku kumpulan surat menyurat Kartini.
Dinyatakan Agus, berdasarkan penuturan orang tuanya, sosok Kiai Selah Darat merupakan teguh dalam mengajarkan nilai-nilai keislaman.
Semangatnya besar agar ajaran Islam itu bisa dipahami oleh penduduk muslim di Jawa. Tak pelak, kitab-kitab yang ditulis rata-rata menggunakan bahasa Jawa, meskipun tetap penggunakan akasara Arab.
Dari sekitar 40 kitab yang pernah ditulis Kiai Saleh Darat, setidaknya ada 12 kitab yang telah ditemukan, diantaranya Majmuat Syari’at al Kafiyat lil Al-awam, Terjemah Al-Hikam, Munjiyat, Lathaif al-thoharah wa Asrorus Solah, Manasik al-Haj, Pasolatan, Minhaj Al-Atqiya, Faid al-Rohman, dan sebagainya.
“Bahkan ada yang tersimpan di museum di Belanda dan Inggris,” kata Agus.
Menurut Agus, sosok Kiai Sholeh Darat merupakan pejuang yang gigih membela bangsanya.
Setelah kekalahan Pangeran Diponegoro, ia juga menulis siasat perang dengan bahasa Jawa beraksara Arab, karena pada saat itu orang Belanda tidak bisa membaca bahasa Arab. Di setiap kesempatan, ia selalu memupuk nilai kebangsaan kepada murid-muridnya.
Kiai Sholeh Darat juga tokoh yang bersahaja. Dalam semua kitabnya, ia selalu merendah dan menyebut dirinya sebagai orang Jawa awam yang tak paham seluk beluk bahasa Arab. Dalam prolog kitabnya selalu tertulis “Kitab ini dipersembangkan kepada orang awam dan bodoh seperti saya”.
Artikel Terkait
Gedung Hoofdbestuur, Markas Ulama dan Santri se-Jawa Madura Rumuskan Resolusi Jihad Lawan Sekutu
Menengok Masjid Lautze 2 Bandung, Simbol Akulturasi Budaya Tionghoa di Tatar Sunda
Ribuan Jamaah Al Khidmah Putihkan Masjid Istiqlal Jakarta, Doakan Indonesia Aman dan Damai
Takmir Masjid Agung Kabupaten Semarang Bercita-Cita Beri Makan Siang Gratis Bagi Jemaah. Ini Alasannya
Menelusuri Masjid "Taqwa" Sekayu Kota Semarang, Masjid Tertua Se Jawa Tengah