GRAHAMEDIA.ID - Komnas HAM menilai Kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan dalam Pemilu menjadi bagian dari penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia.
“Menghormati artinya mengakui, Undang-Undang sudah mengatakan perempuan mendapatkan 30% kuota. Memenuhi maka KPU berkewajiban untuk memastikan bahwa 30% pencalonan terwujud. Melindungi, apabila terjadi capaian yang diwajibkan Undang-Undang untuk mencalonkan minimal 30% sebagai calon legislatif tidak terpenuhi, maka dalam hal ini misalnya Bawaslu bertugas untuk melindungi hal tersebut dengan melakukan persidangan seperti hari ini,” kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro sebagaimana dilansir dari laman komnasham.go.id pada Senin, 27 November 2023.
Pernyataan Antike disampakan saat menjadi saksi ahli dalam sidang pemeriksaan lanjutan dugaan pelanggaran administratif Pemilu yang dilaporkan oleh Koalisi Perempuan Indonesia.
Kasus dengan nomor registrasi 010/LP/ADM.PL/BWSL/00.00/XI/2023 terkait Daftar Calon Tetap Anggota (DCT) DPR RI yang tidak memenuhi keterwakilan perempuan minimal 30 %.
Atnike juga menjelaskan, bahwa KPU dan Bawaslu sebagai badan penyelenggara Pemilu dalam prinsip hak asasi manusia bertanggung jawab sebagai penanggung jawab hak asasi (duty bearer).
Kedua lembaga negara ini berkewajiban melaksanakan kebijakan yang diatur di dalam undang-undang.
“Jika suatu lembaga negara tidak melakukan apa yang diatur berdasarkan undang-undang, maka ia telah melakukan pelanggaran hukum. Tetapi dalam hak asasi, ketika akibat pelanggaran undang-undang yang diamanatkan menyebabkan hilangnya hak asasi seseorang atau sekelompok orang maka dia dapat dikatakan melanggar hak asasi,” jelas dia.
Menurut dia, Kebijakan bisa berpotensi menjadi pelanggaran HAM akibat situasi sosial yang tidak mendukung hasilnya.
Baca Juga: Tindaklanjuti Putusan MA Hanya Dengan Surat Edaran, KPU Membuat Perjuangan Perempuan Mundur
Substansi kebijakan juga bisa melanggar, jelas Atnike, apabila dibuat kebijakan yang kemudian terbukti menyebabkan hilangnya hak asasi seseorang atau sekelompok orang.
"Saya yakin tidak ada lembaga negara yang secara sengaja, mau melanggar hak asasi. Tetapi akibat kebijakannya, dia tidak menghitung ketika kebijakan itu dibuat, dalam hal ini partai politik memilih easy way (jalan mudah) karena aturan yang ada tidak cukup mengikat atau encourage (mendukung) mereka untuk melakukan langkah-langkah kebijakan afirmasi untuk mendorong keterwakilan perempuan,” jelas Atnike.
Ketika perundang-undangan menyebutkan kuota 30 % keterwakilan perempuan untuk menjadi calon anggota legislatif tidak terwujud, jelas Atnike, maka negara telah melakukan pelanggaran akibat gagal memenuhi hak perempuan untuk menjadi anggota legislatif.
Mengenai kebijakan afirmasi, selain prinsip non-diskriminasi, di dalam hak asasi manusia juga mengenal prinsip afirmasi.
Artikel Selanjutnya
Hanya Keluarkan SE, Tindaklanjut KPU Atas Putusan MA Soal 30 Persen Perempuan di Dapil "Langgar" Kode Etik
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.
Sumber: komnasham.go.id
Artikel Terkait
Hanya Keluarkan SE, Tindaklanjut KPU Atas Putusan MA Soal 30 Persen Perempuan di Dapil "Langgar" Kode Etik
Tindaklanjuti Putusan MA Hanya Dengan Surat Edaran, KPU Membuat Perjuangan Perempuan Mundur
Komisi I DPR Desak Pemerintah Galang Dukungan Serukan Resolusi PBB untuk Hentikan Pelanggaran HAM di Gaza
Songsong Pemilu 2024, Komnas HAM Kawal Nilai-Nilai HAM. Cek, Dengan Cara Apa?
Komnas HAM Minta Antisipasi dan Mitigasi Kematian Massal Penyelenggara Pemilu 2024
Aturan Anti Kekerasan Perempuan dan Anak Perlu Ditegakkan