GRAHAMEDIA.ID - Utang piutang adalah salah satu muamalah sosial yang cukup rumit. Jika tidak berhati-hati, salah satu pihak bisa terjatuh dalam praktik riba.
Salah satu fenomena yang kerap muncul di tengah masyarakat, salah satunya adalah utang untuk modal.
Contoh kasusnya sebagai berikut; ada seorang kawan ingin meminjam uang untuk modal dagang.
Kemudian selama uang itu belum bisa dikembalikan, ia berjanji memberikan keuntungan dari aktivitas dagangnya sebesar Rp50 ribu setiap hari.
Baca Juga: Mana yang Didahulukan? Bayar Utang atau Sedekah? Simak Penjelasannya
Namun ia tidak bisa memastikan kapan pinjaman itu akan dilunasi. Hal seperti ini apakah dibolehkan oleh syariat? Atau akad apa sebaiknya yang digunakan untuk masalah ini?
Peneliti Bidang Ekonomi Syariah di Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur, Ustadz Muhammad Syamsudin dalam portal NU Online membedah persoalan ini secara hati-hati.
Menurutnya hal yang paling urgen untuk dilakukan dalam situasi tersebut adalah memahami perbedaan antara utang modal dan bagi hasil permodalan, agar keduanya tidak disalahpahami.
Utang Modal
Utang modal merupakan aktivitas pinjam uang (utang) untuk modal usaha. Pokok dari akad ini adalah “utang” itu sendiri, yang dalam fiqih dikenal sebagai akad qardh.
Imam Sirajuddin Al-Bulqini (wafat 805 H) telah menyampaikan definisi dari utang (qardh) sebagai berikut:
دفعُ مالٍ مخصوصٍ إرفاقًا على وجهٍ مخصوصٍ ليردَّ بدَلَهُ
Artinya, “Menyerahkan uang tertentu karena niat menolong karena latar belakang tertentu supaya dikembalikan gantinya.” (Sirajuddin Al-Bulqini, At-Tadrib fil Fiqhis Syafi’i, [Riyadh: Darul Qiblatain], juz II, halaman 74).
Garis besarnya, yang dinamakan utang adalah mengembalikan uang yang diutang dengan nilai dan nominal yang sama (raddu mitslih).
Baca Juga: Resolusi Keuangan 2024, Tips Efektif Untuk Disiplin Finansial. Catat Baik-Baik!